Aksara Tak Bisu

Aksara Tak Bisu

Bukit itu terlalu sunyi untuk di katakan wajar.

Setelah dipersilahkan masuk ke rumah orang tua itu, aku duduk pada kursi di ruang tamu. Ia meraih sebungkus tembakau kasar. Disodorkannya tembakau itu di meja, beserta kertas dolar untuk melinting tembakau.

Maafkan saya atas peristiwa tadi, tulis orang tua itu pada secarik kertas. Di bukit ini, kami cukup hati-hati dengan pendatang baru. Apa lagi sedang beredar isu, keberadaan kami di bukit ini tengah dimata-matai oleh penguasa kerajaan ini.

Diberikannya catatan kecil itu kepadaku untuk kubaca. Spontan, setelah membaca catatan kecil pada carikan kertas tersebut, timbul keinginan dalam benakku, untuk juga menuliskan sesuatu kepada orang tua itu, sekadar untuk mencairkan suasana. 

Tanpa bertanya terlebih dahulu, aku bermaksud mengambil secarik kertas dari tumpukan kertas yang ada di meja. Namun sebelum aku sempat menyentuh tumpukan kertas itu, orang tua itu malah mencegah diriku. Seperti tahu apa yang kupikirkan, orang tua itu meraih secarik kertas dan menulis:

Bicaralah! Bukankah adik dapat berbicara? Jangan sungkan untuk berbicara. Walaupun saya bisu, saya masih bisa mendengarkan dan mengerti dengan baik bahasa lisan. Angaplah saja adik sedang bercakap-cakap dengan sahabat Adik.

Aku jadi serba salah.

“Em…,” kucoba menyembunyikan rasa maluku. “Em… maaf, Pak. Saya hanya ingin menunjukkan rasa hormat serta niat baik saya kepada Anda. Saya pikir… dengan menulis seperti yang Bapak lakukan, perbincangan kita akan semakin cair. Tetapi jika…” tak kuselesaikan kalimatku, saat kulihat ia telah mengangguk-angguk sambil tersenyum maklum.

“Em… tentang kejadian tadi, sebenarnya telah saya lupakan. Lagi pula, saya sama sekali tidak menyalahkan Bapak atas peristiwa tadi. 

Menurut saya wajar jika Bapak merasa perlu waspada dengan kedatangan orang baru seperti saya. Apa lagi jika memang sedang beredar isu kalau ada mata-mata raja yang hendak memata-matai kehidupan di bukit ini.”

Orang tua itu masih memperhatikan aku dengan saksama. Aku jadi sedikit kikuk.
“Juga… terima kasih Pak, ‘tuk suguhannya,” tanganku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.
“Tapi, maaf Pak. Saya tak biasa, atau mungkin lebih tepat tak bisa isap lintingan. Terlalu keras. Kretek saja Pak…” aku tersenyum, mengulum rasa malu bercampur segan. Kukeluarkan sebungkus rokok kretek dari saku celanaku. Kembali ia tersenyum padaku.

Sebelum ia mulai menulis lagi pada kertas yang sama, ia menyodorkan sekotak korek api kepadaku untuk membakar rokok.

Sudah puluhan tahun aku tidak menggunakan pita suaraku. Selama itu pula, semua perasaan, pendapat dan pikiranku kuungkapkan lewat tulisan pada carikan-carikan kertas. Tetapi sekali lagi, Adik tak perlu sungkan untuk berbicara. Saya termasuk generasi yang dapat mendengarkan dan mengerti bahasa lisan dengan baik, tulisnya.

Aku belum selesai membaca catatan tersebut ketika seorang gadis cantik datang membawa dua cangkir kopi hangat dan sepiring pisang goreng. 

Piring kaca alas cangkir berdenting nyaring saat bersentuhan dengan meja marmer yang telah sedikit retak di ujungnya. 

Cuping hidungku mengembang, menghirup uap kopi hangat yang membubung naik bercampur aroma pisang goreng. Ku isap rokokku dalam-dalam. Sempurna.
Gadis itu mengambil secarik kertas dan menulis:

Maaf. Mungkin tak seenak ‘white coffee’ juga kopi luwak, tapi ini dari biji kopi pilihan; yang terbaik yang kami miliki; asli buah tanah bukit ini. Silahkan dinikmati.

Ia tersenyum padaku seraya mempersilahkan diriku menyantap hidangan yang telah tersedia. Sederhana, tetapi anggun. Itu kesan pertamaku. Pandanganku lekat pada gadis manis itu sebelum akhirnya ia tersenyum lagi, lalu berlalu ke belakang dan terpeleh tirai.

Sebuah catatan kecil pada carikan kertas yang lain disodorkan lagi kepadaku. Orang tua itu menulis:

Ia adalah putri tunggalku. Namanya Ree. Ibunya meninggal dua tahun lalu. Sejak saat itu ia yang mengurus pekerjaan rumah tangga.

Aku mengangguk-angguk, namun dengan dahi yang berkerut. Aku mengerti sesuatu sekaligus tidak mengerti hal yang lain. Kutatap wajah orang tua itu dengan sebuah pertanyaan yang seperti tersangkut di tenggorokan. Ia mengambil pena dan menulis, namun bukan lagi pada carikan kertas. Pada selembar kertas yang cukup panjang, ia menulis:

Saya mengerti apa yang hendak Adik tanyakan. Begini:

Hegemoni tak pernah pasti selama harapan dan perjuangan ada dalam hati, ia memulai catatannya.

Tidak semua orang gampang menentukan bagian tubuh mereka yang paling penting dan yang paling mereka banggakan. Memilih yang satu dan mengeliminasi yang lain sering menimbulkan dilema. 

Namun, tidak demikian dengan penduduk bukit ini. Jika penduduk bukit ini disuruh memilih satu anggota tubuh yang paling penting dan paling membanggakan, boleh jadi tanpa berpikir dua kali, kami akan menjawab, “Pita suara!”; andai kata kami dapat berteriak kini.

Sebab, tidak ada anugerah para dewa yang lebih indah dari pada Pita Suara.
Ia memberi kesempatan kepadaku untuk membaca awal catatannya. Kalimat terakhir awal catatannya itu ia tulis dengan tinta biru.
Sayangnya, ia melanjutkan catatannya, generasi kami adalah generasi terakhir yang dapat menikmati anugerah terindah itu.

Dulu kami semua punya pita suara. Suku kami sungguh yakin kalau pita suara adalah anugerah khusus para dewa. Maka, sejak kacil kami sudah sungguh di didik untuk tahu menggunakan anugerah dewa yang terindah itu. 

Kami di didik dengan keras untuk menjadi penyanyi, penyair, orator, serta retor; menjadi pengguna anugerah dewa. Bahkan hasilnya, tak sedikit dari antara kami yang menjadi penyanyi, penyair, serta retor-retor, dan orator-orator yang ulung dan tersohor di penjuru kerajaan.

Kala malam purnama datang, di sekeliling api unggun, kami berkumpul untuk bernyanyi, melantunkan syair-syair kuno, juga mendengarkan kepala suku kami bercerita tentang nenek moyang kami. 

Kami juga berdiskusi bahkan berdebat tentang hari-hari hidup kami dan kerajaan ini. Semuanya begitu indah.
Hingga suatu senja….
* * *
….dituduh salah menggunakan anugerah para dewa, menjadi suku pemberontak dan penghasut di kerajaan demokrasi ini, kami dijatuhi hukuman yang sungguh tak adil. Tak ada seorang pun yang di hukum gantung. Tetapi, pita suara semua kami, penghuni bukit ini, mesti di potong.

Keputusan itu telah menjadi bencana terbesar yang pernah kami alami sepanjang sejarah bukit ini. Sejak petang itu, lenyaplah nyanyian; tak ada lagi dongeng; tak ada diskusi; tak ada puisi; dan tak ada pidato. Tangisan kami tak membekaskan suara sedikit pun. Bahkan bisikan pun tak menyisakan sedikit bunyi untuk setitik makna.

Terlalu perih untuk dikenang….
….sadar waktu tak punya pilihan untuk berhenti. Generasi yang baru pun muncul mengganti generasi yang pergi. Anak-anak kami, termasuk putriku Ree, lahir dengan pita suara yang baik.
Bagi kami, itu adalah tanda bahwa para dewa tak pernah melupakan kami. Namun sayang, tak seorang pun dari generasi kami mampu mengajarkan mereka berbicara, bernyanyi, berkisah, melantunkan syair, bahkan untuk sekedar berbisik. Bayangkanlah, tak satu pun dari kami. Betapa menyedihkan….
Demikian penggalan kisah yang dicatat sendiri oleh orang tua itu tentang sunyi bukit itu.

* * *
Maka suatu senja, pada secarik kertas lusuh, kami sepakat untuk satu hal yang tak akan lusuh. Kami sepakat untuk membangun dunia kami sendiri; dunia kami di bukit ini. Orang tua itu terdiam sejenak sebelum kembali menulis lagi: Sebuah dunia tulisan; dunia aksara, walau tanpa suara.
“Maafkan aku Pak,” rasanya dadaku terlalu sesak untuk mengungkapkan apa yang ingin kuungkapkan. Aku tertegun usai membaca kisah yang ditulis orang tua itu.

Di luar, sinar dan panas mentari tak seberapa lagi. Burung-burung malam mulai menampakkan diri. Mengingat hari telah semakin gelap, segera kusampaikan maksudku kepada orang tua itu untuk pulang. Orang tua itu tampaknya maklum dengan kecemasanku. Hutan di bukit ini tak selalu aman di malam hari.

Ia menepuk tangan tiga kali. Mungkin itu adalah isyarat untuk memanggil Ree, putrinya, sebab tak lama berselang Ree datang. Seperti sudah mengerti apa yang harus dikerjakan, Ree segara mengumpulkan cangkir berisi ampas kopi, serta beberapa buah pisang goreng yang tersisa. Ia tersenyum padaku sebelum pergi ke belakang.

Penguasa negeri ini, tulis orang tua itu sebelum aku pergi, kini memata-matai keberadaan kami di bukit ini. Tentu mereka ingin memastikan generasi penerus kami tak dapat bernyanyi, berbicara, berteriak, berpidato, bahkan berbisik satu dengan yang lain. 

Jika mereka tahu generasi penerus kami tak dapat menggunakan pita suara, bahkan untuk berbisik sekalipun, tentu mereka akan merasa berhasil membungkam suara kami bahkan suara anak cucu kami; generasi penerus kami. 

Tetapi sampai kapan pun, mereka tak pernah mengerti kalau sesungguhnya di bukit ini, hanya anjing yang tak bicara.

Dengan tulisan yang dipertebal ia mengakhiri catatan itu: Sebab, AKSARA TAK BISU!

Kulipat catatan itu. Kusimpan catatan akhir itu dalam saku bajuku bersama semua catatan yang telah ia berikan kepadaku sepanjang hari itu. Aku berlangkah menembus senja yang menjelang malam. 

Sebelum sampai di hutan, batas bukit itu, kusempatkan diri menoleh ke belakang untuk yang terakhir kali. 

Samar-samar, rumah orang tua itu terlihat di celah pepohonan. Aku tertunduk penuh penyesalan. Aku ingin jujur kepada orang tua itu, kalau sesungguhnya aku adalah mata-mata raja.

* terinspirasi dari salah satu adegan
dalam novel “LARUNG”, karya Ayu Utami


0 Response to "Aksara Tak Bisu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

           
         
close